1:12 am
Kukira sudah pagi, ternyata masih jam segini. Aku akhirnya mengatakan
semuanya pada seseorang yang sungguh tak kuduga. Pikiran akan ketidaksanggupan
untuk diperlakukan dengan ejekan dan hinaan yang berulang-ulang sejak latdas
yang membuatku geram dan semakin yakin untuk melakukan ini.
“Bro, aku kok pengen ngilang ya saka kene.”
“Lah kenopo?”
“Embuh yo, aku merasa gak dianggap ada sama mereka.”
“Kok iso? Mungkin gur perasaanmu wae.”
“Yo embuh sih, tapi mereka itu—entah sengojo tah gak, entah tenanan
opo gur guyon—ki ngejek dan ngehinaku dengan hal yang sama dan aku suwi-suwi
ngeroso nek aku wis gak penting ono ning kene.”
“Sejak kapan?”
“Sejak latdas.”
“Gaklah, padahal kw sing paling sering nongol nang sekre dan sering
srawung juga karo mereka.”
“Gak ngono, aku ngerasa nek saiki potensine wis akeh dan awakku ki rak
dibutuhke meneh. Gur wong rak penting ngono. Dan entah kenapa, mereka ki malah
ngelek-ngelek aku pereh gaweanku gur akeh gabut e dan ngehina aku macam lemah,
cupu.. Okelah emang mereka kuat dan oke dan aku minderan dan blablabla. Tapi
aku gak kuat nek misal ono ng sekre tapi lara atiku eling pas kui. Daripada
dosaku ra bar-bar dendam karo mereka mending aku lungo.”
“Ojolah, nis. Kw mungkin gapopo ngilang kyk si X pas biyen kae. Tapi
balik meneh yo?”
“Aku meh nyoba. Kiro-kiro pas aku raono bakal ono pengaruh e opo gak.
Nek gak ono yo mungkin tak teruske.”
Kemudian mbrebes mili ditengah-tengah jadi anak tiri yang dikasih
kerjaan cuma jagain anchor utama di gelap malam jumat diatas jembatan
Babarsari. Kemudian aku berpikir lagi betapa kekanak-kanakannya aku ini.
Teringat saat alumni perempuan favorit berkata bahwa sekarang bukan lagi
saatnya jadi momongan tapi emonglah angkatan dibawahmu. Jadilah tangguh saat
aku bilang aku bakal merepotkan jika kita muncak bersama—yang berujung wacana.
Dan betapa aku egois dan pemalas saat teringat kerjaanku menjadi penjaga camp—walaupun
dua hari berturut-turut kerja—dan hanya memasak sedikit untuk anak baru dan
teman-teman ditambah dua nesting tidak matang karena ketidakbecusanku dalam
memasak benda itu. Terkadang muka masa bodoh yang sengaja kupasang cukup
menunjukkan bahwa aku sedang teringat kenapa aku jadi seperti ini.
Sebelum mengatakan semuanya, aku lebih geram dan agaknya dendam kesumat
merajai otakku. Sempat berharap arus deras sungai dibawah menyapu mereka habis
dan aku sedikit merasa lega. Sebenarnya saat itu aku hanya dendam kepada satu
orang yang berada dibawah sana, namun satu orang lagi membuatku geram sore itu.
Tanggapannya saat aku tak ingin ikut lomba membuatku muntab tak peduli sedang
ada siapa di tempat itu. ;;]]