Kamis, 19 Juni 2014

It hurts

It hurts. It really is. Gue harus gimana? Kenapa gak bisa berakhir dengan baik-baik? Aku benar-benar salah ngomong dan menyesal sampai semuanya mengalir begitu saja. Rasa bersalahku bukan karena berakhirnya ini tetapi hanya karena satu hal itu. Aku juga gak terima pas di dikte kayak gitu. Gak kusangka bahkan lebih sakit dari saat aku mengalami unrequited love. Aku merasa masih belum sanggup. Bahkan melihat hal yang berhubungan dengannya, aku lemas. Aku tak yakin ini bisa diperbaiki.

Kamu pernah tidak, mengalami kayak gitu? Aku benar-benar tak punya keberanian buat ngomong lagi sama dia. Buat ngebenerin sebenarnya. Atau emang gak ada yang harus dibenerin? Bahwa itu bener2 kebenaran yang menyakitkan dan aku bener-bener bersalah. Ironis sekali, dulu kita seolah perangko yang tertempel erat sekali pada secarik amplop. Sekali bertemu tak terpisahkan. Sekarang masih sama, namun lem pada perangko sudah mulai hilang dan tak bisa merekat erat pada sang amplop. Mungkin karena terpaan hujan angin dan silau matahari. Atau juga surat yang didalamnya sudah tak berguna sehingga dibuang begitu saja?

Aku tak sanggup bila harus menghubunginya. Aku memang lebih nyaman berhubungan melalui teks daripada suara dan bertatap muka, namun kini rasanya semua sama saja. Nyaliku lenyap seketika melihat namanya terpampang dilayar. Tapi apa aku benar-benar harus memperbaikinya? Apa tak ada cara lain? Aku memang tak begitu mencintainya, namun aku tak sanggup bila harus terus merasa bersalah dan tak berharga. Mr. Silhouette told me I'm wrong, he's the only one who told me that. My bestie told me that I've tried my best to be myself. And she said everyone is different and have their own mindset. And another isn't help at all, because her type is a high-class man and—lucky her—she got it. Its not always about money, tapi aku sebenernya cuma minta dia pake motor buat kesana kemari.-.
Tapi kenapa lo gak bilang dari dulu?
Gak tau. Gue ewuh.
Ewuh? Nek kuwe ewuh yo rak bakal bar.
Iyo sih.
Kuwe emang kudu ngomong neh mbek nde'e. Omongi apik-apik.
Aku rak sanggup. Atine mesti lara goro-goro aku keceplosan pas iku. Yo emang sih, iku sebenere bener. Tapi mungkin caraku ngomong sing salah. Aku wae pas iku meh ngomong ngono jeh mikir resikone, tapi goro-goro aku lagi sibuk dan rak sempet mikir masalah ngonoan—tapi gue pikir lu bakal mikir gue nggak serius—akhirnya gue kirim aja those undone words. Dan võila! Words became swords. Loe gue end.

Entahlah, ini emang pertama kali. But none of us thought it was gonna end that way. Gue nggak nyangka dan masih ga rela berakhir kayak gitu. Kejujuran—koreksi—keceplosan kills u. Dan itu nggak bagus. Sangat nggak bagus.

Ahiya, boleh cerita lagi? Dulu pas smp, temen satu gank gue pacaran sama temen sd. To the point aja, pas jalan pertama kali bareng temen-temen lain, eh besoknya mereka putus. Ngeri amir! Mereka kena kutukan apa coba? Ternyata si cewek cerita kalo si cowok itu pas makan minta tolong dibayarin sama dia. Dan si cewek mikir ngapain dipertahanin orang baru pertama jalan aja udah nggak modal, apalagi ntar2nya. Dari situ gue mikir sama, tapi doi-nya gue itu kayak gitu baru pas awal tahun 14. Tapi kalo diukur sampe sekarang apa gue nggak jos tuh? +/- 6 bulan coy! Sekian.

Maybe the happy ending is moving on

Tidak ada komentar:

Posting Komentar